CINXE.COM

Center for a Stateless Society

<?xml version="1.0" encoding="UTF-8"?><rss version="2.0" xmlns:content="http://purl.org/rss/1.0/modules/content/" xmlns:wfw="http://wellformedweb.org/CommentAPI/" xmlns:dc="http://purl.org/dc/elements/1.1/" xmlns:atom="http://www.w3.org/2005/Atom" xmlns:sy="http://purl.org/rss/1.0/modules/syndication/" xmlns:slash="http://purl.org/rss/1.0/modules/slash/" > <channel> <title>Center for a Stateless Society</title> <atom:link href="https://c4ss.org/feed" rel="self" type="application/rss+xml" /> <link>https://c4ss.org</link> <description>building public awareness of left-wing market anarchism</description> <lastBuildDate>Fri, 22 Nov 2024 17:59:15 +0000</lastBuildDate> <language>en-US</language> <sy:updatePeriod> hourly </sy:updatePeriod> <sy:updateFrequency> 1 </sy:updateFrequency> <generator>https://wordpress.org/?v=6.6.2</generator> <item> <title>Ego dan Salib-Nya</title> <link>https://c4ss.org/content/59985</link> <dc:creator><![CDATA[C4SS]]></dc:creator> <pubDate>Fri, 22 Nov 2024 17:59:15 +0000</pubDate> <category><![CDATA[Indonesian]]></category> <category><![CDATA[Stateless Embassies]]></category> <category><![CDATA[agape]]></category> <category><![CDATA[Bakunin]]></category> <category><![CDATA[Christianity]]></category> <category><![CDATA[Egoism]]></category> <category><![CDATA[Egoism and Anarchism Mutual Exchange]]></category> <category><![CDATA[eros]]></category> <category><![CDATA[individualist anarchism]]></category> <category><![CDATA[Love]]></category> <category><![CDATA[max stirner]]></category> <guid isPermaLink="false">https://c4ss.org/?p=59985</guid> <description><![CDATA[Oleh: Joseph Parampathu, teks aslinya berjudul “The Ego and His Cross”, diterjemahkan oleh Sachadru. Esai ini adalah bagian dari Simposium Pertukaran Bersama C4SS tentang Anarkisme dan Egoisme Esai ini merupakan tanggapan terhadap tulisan Profesor Alexander W. Craig yang berjudul “Kekristenan dan Egoisme”. Esai Craig membuat argumen bahwa egoisme dan kekristenan adalah kompatibel: Dia meneliti beberapa...]]></description> <content:encoded><![CDATA[<p style="text-align: left; padding: 1em; background: #e6e6e6;">Oleh: <b>Joseph Parampathu</b>, teks aslinya berjudul “<a href="https://c4ss.org/content/56686">The Ego and His Cross</a>”, diterjemahkan oleh Sachadru.</p> <p>Esai ini adalah bagian dari Simposium Pertukaran Bersama C4SS tentang Anarkisme dan Egoisme</p> <p><i>Esai ini merupakan tanggapan terhadap tulisan Profesor Alexander W. Craig yang berjudul “Kekristenan dan Egoisme”.</i></p> <p>Esai Craig membuat argumen bahwa egoisme dan kekristenan adalah kompatibel: Dia meneliti beberapa pesan yang tampaknya anti-egois dari Injil, membandingkannya dengan konteks kasih ilahi sebagai kepercayaan yang sangat egois, dan akhirnya berpendapat bahwa pandangan yang diambil dalam sifat transenden dari keselamatan ini memungkinkan pemenuhan ego, melalui penyangkalannya sendiri. Meskipun pembalikan harapan mungkin tampak aneh bagi para egois, namun hal ini merupakan inti dari ajaran-ajaran dalam Injil.</p> <p>Dalam esai ini, saya berusaha untuk tidak menentang argumentasi Craig, tetapi mendorongnya lebih jauh. Pembalikan ekspektasi yang begitu umum dalam pengajaran Kristen sebenarnya adalah alasan mengapa kaum anarkis individualis (termasuk egois) begitu sering gagal untuk melihat pesan-pesan kenegaraan dalam pengajaran Kristen. Kisah tentang seorang raja Yahudi yang akan datang untuk memulihkan sebuah negara bagi bangsa Israel tentu saja tampak pada wajahnya (dalam ekspektasi kita) sebagai kisah yang tidak anarkis. Tetapi pesan Kristus (dan kuasa penyelamatan dari “penyangkalan diri” yang ditunjukkan dengan tepat oleh Craig) adalah pesan yang membalikkan ekspektasi kita tentang bagaimana bangsa tersebut akan muncul, dan seperti apa kerajaan itu.</p> <p>Menerima sepenuhnya pesan-pesan ajaran Kristen berarti memahami bahwa ajaran moral (yang disebut Martin Luther King, Jr. sebagai “hukum moral”) lebih tinggi daripada hukum negara.<sup>1</sup> Kesejajaran anarkis dengan mudah dapat ditarik-Stirner menghapus hantu-hantu hukum negara dan hukum gereja, dan hanya menyisakan ego; Bakunin hanya mengakui otoritas yang adil dari pembuat sepatu, otoritas yang mengambil alih kekuasaan hanya dengan persetujuannya.<sup>2,3</sup> “Penguasa yang diberkati dan satu-satunya penguasa… Raja di atas segala raja dan Tuhan di atas segala tuhan” (1 Timotius 6:15, NABRE) menggantikan semua negara duniawi, dan dengan demikian, Thomas Aquinas dengan tepat menyatakan bahwa hukum tunduk pada keterbatasan alamiah, dan Agustinus dari Hippo menyatakan bahwa “hukum yang tidak adil, menurut saya, bukanlah sebuah hukum”.<sup>4,5</sup></p> <p>Namun, meskipun hukum negara mungkin dibatasi oleh hukum alam yang lebih tinggi, dan otoritas negara mungkin berada di bawah otoritas ilahi dalam ajaran Kristen, apakah itu berarti bahwa pesan Kristus adalah pesan yang menentang negara? Sekali lagi di sini, kita harus memeriksa “pembalikan” yang merupakan pesan Kristen: “Barangsiapa yang berusaha menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa yang kehilangan nyawanya, ia akan memperolehnya,” (Lukas 17:33) dan juga, “yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir.” (Matius 20:16, AYT; mirip dengan Markus 10:31, AYT, dan Matius 19:30, AYT). Ketika kita memeriksa kehidupan Yesus seperti yang disajikan dalam Injil, kehidupan-Nya tidak terlihat sebagai kemuliaan sebagai raja, tetapi kemuliaan yang memuliakan orang miskin dan lemah lembut; kehidupan-Nya adalah kehidupan yang menyelamatkan orang berdosa melalui kasih yang menyelamatkan.</p> <p>“Pelayanan Belas Kasih” yang dilakukan Yesus sebagai seorang guru agama publik adalah tindakan langsung melawan otoritas negara dan agama pada masa itu. Ketika orang mengambil tindakan langsung dalam komunitas mereka sendiri, mereka menunjukkan kekuatan pribadi mereka dan juga menyangkal kekuatan negara untuk memonopoli tanggung jawab tersebut. Yesus, dengan menyebarkan pesan penerimaan dan kasih yang radikal, mengayunkan pintu-pintu masyarakat untuk meninggikan mereka yang terpinggirkan oleh masyarakat yang ada &#8211; Dia menjungkirbalikkan moralitas para penguasa. Jadi, ketika para penguasa Yahudi mengutuk murid-murid Yesus karena memetik gandum pada hari peristirahatan keagamaan, Dia menjawab, “Aku berkata kepadamu, sesuatu yang lebih besar dari Bait Allah ada di sini. Sekiranya kamu tahu apa artinya: Aku menghendaki belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak akan menghukum orang-orang yang tidak bersalah ini” (Matius 12:6-7, AYT). Bukankah ini adalah pembenaran untuk setiap tindakan langsung? Hukum harus diabaikan ketika berbenturan dengan apa yang benar.</p> <p>Pada kenyataannya, penderitaan dan eksekusi Yesus, dan kemartiran para Rasul dan Orang Suci, dapat dianalogikan dengan perjuangan melawan rintangan yang mustahil yang menjadi ciri khas dari konflik pekerja atau aksi revolusioner anarkis. Dua “martir anarkis” seperti itu adalah John Brown dan Alexander Berkman. Ironisnya, kedua orang tersebut dan tindakan langsung mereka tampaknya cocok dengan istilah yang merendahkan “Jesus Complex” karena mereka mungkin telah salah memahami orang-orang yang ingin mereka bantu dan secara spektakuler gagal mencapai tujuan awal mereka. Kenyataannya, tindakan mereka setelah kegagalan mereka sangat sesuai dengan pesan Kristen (atau seperti yang ditulis Craig, “kita akan kehilangan hal-hal yang kita anggap sebagai milik kita, padahal itu hanyalah hal-hal yang kita ambil yang berlawanan dengan kodrat kita”): Melalui kegagalan mereka, peran yang diharapkan dari mereka justru berbalik &#8211; alih-alih menjadi penyelamat, mereka justru menjadi korban, dipenjara dan dipermalukan. Namun, seperti halnya dengan Yesus, kegagalan inilah yang menjadi keberhasilan mereka; api kemartiran menebus mereka.</p> <p>Setelah negara Romawi mengeksekusi Yesus, orang-orang Kristen mula-mula mempraktikkan iman mereka secara ilegal dan diperlakukan dengan penuh kecurigaan, bahkan permusuhan. Dalam situasi yang tersembunyi dan komunalistik ini, komunitas Kristen mula-mula bertahan hidup sebagian secara rahasia, tetapi ketika pandangan mereka berbenturan dengan negara, mereka tidak menyangkalnya. Dalam keberadaan mereka yang ilegal, para Rasul melanjutkan semangat anti negara, Kisah Para Rasul berisi kisah demi kisah tentang perlawanan ilegal ini. Ketika diperintahkan oleh otoritas agama untuk berhenti mengajar, mereka berkata: “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kisah Para Rasul 5:29, AYT). Demikian juga, Paulus menulis dalam sebuah surat “kewarganegaraan kita adalah di dalam sorga” (Filipi 3:20, NABRE). Dengan demikian, tidak mengherankan jika seorang pasifis Kristen Abad Pertengahan, Peter Chelcicky, dapat menulis, seolah-olah memberikan sanggahan anarkis terhadap negara transisi komunis, “Karena tidak ada kekuasaan tanpa kekejaman. Jika kekuasaan mengampuni, maka ia sedang mempersiapkan kehancurannya sendiri, karena tidak ada yang akan takut ketika mereka melihat bahwa ia menggunakan cinta dan bukan kekuatan yang membuat orang gemetar.”<sup>6</sup></p> <p>Radikalisme ajaran Kristen tidak terletak pada argumen kekuasaan di tangan orang Kristen, tetapi lebih pada penolakannya (yang cukup anarkis) terhadap kekuasaan sebagai sarana yang berharga. Jika filsafat Kristen berevolusi dari posisi kelemahan ini &#8211; sebuah tradisi ilegal yang dianut oleh para anggotanya yang dianiaya karena iman mereka, sebuah iman yang merayakan seorang raja religius bermahkota duri yang memimpin kampanye aksi langsung tak bersenjata melawan hirarki kembar otoritas Yahudi dan Romawi yang pada akhirnya dieksekusi &#8211; maka kekuatannya adalah merangkul posisi kelemahan ini dan membalikkan perebutan kekuasaan.</p> <p>Perjuangan keras John Brown dan Alexander Berkman gagal. Jika pekerjaan mereka (abolisi dan perjuangan buruh, masing-masing) pernah ditebus, itu adalah dalam kemartiran mereka (untuk Brown, eksekusi; untuk Berkman, 14 tahun antara memasuki penjara dan meninggalkan “rumah kerja”). Craig menyimpulkan tulisannya dengan mengartikulasikan bahwa orang yang egois dapat menemukan keselamatan transenden dalam Kekristenan melalui kematian ego yang memungkinkan seseorang untuk “mengambil bagian dalam kodrat ilahi.” Demikian juga, Brown dan Berkman, dengan “kehilangan nyawa” mereka memenuhi tujuan mereka, tetapi hal itu mengharuskan mereka untuk melepaskan keyakinan egois bahwa mereka dapat menjadi juru selamat dalam arti negatif “Kompleks Yesus”.</p> <p>Maka, akan lebih tepat, mencerminkan tulisan Craig, jika saya juga membahas bagaimana mereka yang sudah menentang negara dapat memperoleh manfaat dari pemahaman tentang ajaran Kristen. Seseorang yang berpegang teguh pada perkataan “tidak ada tuhan selain Tuhan” mungkin akan menemukan dukungan yang ironis di dalam Alkitab: “Sebab apabila bangsa-bangsa lain yang pada dasarnya tidak memiliki hukum Taurat melakukan ketentuan-ketentuan hukum Taurat, maka mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat. Mereka menunjukkan, bahwa tuntutan-tuntutan hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka” (Roma 2:14-15, AYT). Dengan demikian, bahkan mereka yang tidak menerima hukum Taurat atau menggunakannya sebagai ukuran, lebih “adil secara hukum” jika mereka menunjukkannya melalui tindakan mereka. Kematian ego yang disebut Craig sebagai sesuatu yang dicari oleh para egois, menurut saya dapat ditemukan melalui misi praksis yang tercermin dalam Pelayanan Belas Kasihan Yesus (atau jika Anda lebih suka, penangkapan Brown dan Berkman).</p> <p>Aksi langsung adalah praktik anarki; aksi ini menggantikan negara dan membuktikan bahwa negara telah usang. Tetapi dari perspektif transformasi personal dan filosofis, aksi langsung adalah wadah di mana teori ditempa menjadi kenyataan dan “Kompleks Yesus” menjadi disiplin pengajaran sosial Kristen. Ini mungkin bukan menyembuhkan orang kusta atau membangkitkan orang mati, tetapi aksi sosial secara langsung membalikkan tatanan kapitalis dengan menempatkan yang pertama, terakhir, dan yang terakhir, sebagai yang pertama; menolak penilaian kerja yang meninggikan kapital sebagai yang pertama dan terutama; dan, menciptakan struktur dan kompetensi yang memastikan negara tidak dapat memonopoli kapital sosial. Dalam mempraktikkan perlawanan terhadap negara, kita mengalami kematian ego yang menurut Craig akan menguntungkan kaum egois. Pertimbangan praktis, yang terkadang membutuhkan kompromi dengan teori, mewujudkan makna dari pesan Yesus, karena Dia “tidak datang untuk dilayani tetapi untuk melayani” (Matius 20:28, NABRE dan Markus 10:45, NABRE). Demikian juga, praktik anarkis membutuhkan pengesampingan keyakinan egois tentang apa yang mungkin telah kita konsepkan sebagai cara terbaik untuk memajukan perjuangan sosial dan sebagai gantinya menempatkan pelayanan tersebut di atas diri kita sendiri (atau keinginan dan harapan kita yang egois).</p> <p>Egoisme Stirner dan ajaran Kristen adalah kompatibel, bahkan saling melengkapi. Bagi Stirner, penghapusan hantu seperti hukum negara atau moralitas dan penilaian yang bijaksana atas hubungan sosial dan realitas ekonomi adalah inti dari kesimpulannya: Segala sesuatu berada di bawah Yang Unik. Penempatan otoritas negara di bawah ilahi dan hukum negara sebagai bawahan dari hukum alam atau spiritual juga mendorong para pemeluknya untuk menolak negara, setidaknya ketika hal itu bertentangan dengan disiplin agama mereka. Ini adalah penolakan yang sama dengan penolakan egois terhadap otoritas negara, dan kritik anarkis terhadap hirarki yang “tidak adil”. Kekristenan tidak hanya memanggil seseorang untuk mati-matian dan melayani, tetapi juga mengharuskan untuk menolak klaim otoritas negara dan menempatkan diri sendiri dalam pelayanan untuk mengakhiri negara.</p> <p>Tetapi apakah egoisme Stirner benar-benar memungkinkan adanya kematian ego? Dia menolak baik cita-cita Kristen tentang kehidupan pengorbanan untuk melayani roh yang ideal maupun cita-cita liberal yang mencontohkan kehidupan seseorang setelah beberapa pola dasar manusia yang sempurna. Stirner menegaskan bahwa manusia hanyalah seorang manusia (dan tidak perlu menundukkan dirinya pada sesuatu yang lebih) tetapi, bahkan sebagai seorang manusia (dari sekian banyak manusia), dia juga adalah dirinya sendiri, seorang individu (seorang yang Unik). Panggilan egoisme untuk mengenali Yang Unik bukanlah penolakan untuk menerima bahwa cita-cita itu dapat dicapai, secara teori. Seorang humanis liberal yang egois dapat hidup sesuai dengan keyakinan mereka tentang manusia yang sempurna dan tetap menolak untuk menundukkan keunikan mereka pada sesuatu yang dianggap sempurna. Seorang komunis egois dapat bersekutu dengan orang lain sambil menolak penaklukan orang mereka sendiri (atau orang-orang dari persatuan egois mereka) ke dalam kelompok itu. Orang Kristen yang egois dapat hidup sesuai dengan roh yang diidealkan, sambil mempertahankan klaim terhadap Yang Unik; yang ideal, pada kenyataannya, mengalir dari Yang Unik. Egoisme tidak menentukan sebuah jalan, tetapi menolak bahwa sebuah ideal (yaitu moralitas, kesetaraan, spiritualitas) dapat mengklaim lebih diutamakan daripada otoritas individu untuk menanamkan ideal tersebut dengan maknanya. Bagi seorang egois, dari ego-lah semua hal lain berasal.</p> <p>Dan jika semua hal dimulai dari ego, mengapa tidak, saran Stirner, diakhiri di sana? Hal ini sejalan dengan argumen saya di atas untuk orang Kristen: Jika negara hanya sah jika melayani secara rohani saja, lalu apa perlunya negara? Buanglah yang tidak perlu dan tinggalkanlah yang penting.</p> <p>Akan tetapi, argumentasi Stirner meminta kita untuk lebih teliti lagi. Dia bertanya kepada kita mengapa kita peduli dengan esensi atau cita-cita. Mengapa kita pertama-tama membayangkan kehidupan yang harus dijalani, dan kemudian menjalaninya? Domba atau anjing (atau bahkan bunga) “menyadari dirinya sendiri dalam hidup.”<sup>7</sup></p> <p>Tapi inilah cara kita sampai pada kematian ego dari dalam egoisme itu sendiri. Seruan Craig bagi para egois untuk mencari transendensi adalah “kehidupan” yang sama dari Yang Unik. Stirner memperingatkan agar kita tidak mencari sesuatu yang ideal karena tidak ada sesuatu yang ideal yang dapat ditambatkan pada penerimaan kita terhadapnya. Ketika kita secara egois memahami bahwa Ego adalah titik referensi dasar untuk semua hal lainnya (tidak ada ideal yang obyektif yang dapat Anda pilih untuk mengukur kehidupan Anda, karena, Andalah yang melakukan pengukuran dan memilih ukurannya), kita tahu bahwa menciptakan sebuah cita-cita tidaklah perlu. Hantu mengaburkan realitas ego.</p> <p>Kematian ego, dalam egoisme Stirner, bukanlah jalan untuk melampaui ego, melainkan untuk memenuhinya. Melakukan hal yang sebaliknya berarti menyangkal Yang Unik, dan yang lebih aneh lagi, membutuhkan penipuan diri dengan menciptakan hantu. Penyangkalan diri yang egois adalah “penyangkalan terhadap apa yang kita bayangkan kita inginkan.”<sup>8</sup> Dengan menghilangkan penipuan diri (“hantu” Stirner), kita dapat dengan mudah hidup sebagai Yang Unik yang egois.</p> <p>Gagasan Kristen tentang kasih <i>agape </i>(dari terjemahan bahasa Yunani, berlawanan dengan kata kasih dalam Alkitab Yunani lainnya seperti <i>eros </i>atau <i>philos</i>) mencerminkan gagasan egois tentang Keunikan yang telah digenapi.<sup>9</sup> Kasih <i>agape </i>adalah kasih tanpa syarat (bahkan tidak rasional) yang menggambarkan gagasan Kristen tentang bagaimana Tuhan mengasihi orang (dan pribadi), serta apa yang diajarkan kepada orang Kristen untuk ditunjukkan kepada semua orang, termasuk orang asing dan musuh. Sementara Unique yang tidak terpenuhi (orang yang hidup dibebani oleh hantu), mungkin secara rasional dapat mempraktikkan <i>eros </i>dan <i>philos</i>, hantu mereka (tipuan diri seperti rasionalitas, spiritualitas, atau legalitas) menghalangi mereka untuk mempraktikkan kasih <i>agape</i>. Mereka tidak dapat mengasihi sesuatu tanpa syarat, dan dengan demikian tidak dapat, seperti domba atau anjing, mewujudkan kehidupan mereka sendiri melalui hidup. Mereka tidak dapat mengambil kehidupan mereka dengan membuangnya; dibutakan oleh hantu mengidealkan ego, mereka tidak dapat mengalami kematian ego di dalam egoisme.</p> <p>Stirner mengkritik kehidupan yang disibukkan dengan mempertahankan diri. Ia mengutuk akal sebagai prinsip panduan yang salah. Kasih <i>agape </i>membutuhkan kesediaan untuk menempatkan diri dalam risiko, memikul salib dan mengampuni, menjadi pengorbanan diri yang tidak rasional. Memenuhi Yang Unik membutuhkan kematian ego dengan mematikan cita-cita ego dan sebagai gantinya hidup sebagai ego. Brown dan Berkman mempraktikkan kasih <i>agape </i>melalui pengorbanan diri mereka; mereka tidak hanya mengambil risiko yang melekat pada tindakan ilegal, tetapi juga bertindak di luar nalar. Tindakan mereka gagal dalam arti rasional; mereka tidak “menyelesaikan” perbudakan atau perjuangan buruh. Tetapi tindakan mereka mematikan “ego” (yang mungkin kita sebut sebagai ego palsu, ego ketakutan, atau bahkan ego vulgar) yang berpendapat bahwa mereka dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut, atau jika tidak, harus puas dengan cara-cara yang lebih masuk akal. Sebaliknya, mereka menerima hilangnya kendali (atau lebih tepatnya, ilusi kendali) yang berasal dari menundukkan diri pada akal, dan melalui kematian ego tersebut, mereka dapat hidup sebagai diri mereka sendiri.</p> <p>Melampaui ego melalui kematian ego memungkinkan orang-orang yang egois untuk memenuhi Keunikan mereka. Kehidupan dan kematian Yesus menunjukkan kesediaan untuk menggunakan Keunikan-Nya, dalam pelayanan duniawi, di samping kesiapan untuk menyerahkan nyawa-Nya, dan bahkan melepaskan kendali, dan pada akhirnya berdoa untuk pembebasan, bukan kelegaan. Ego-kematian adalah panggilan dalam egoisme Stirner untuk melampaui “ego” yang diidealkan secara vulgar yang kurang dari Yang Unik, dan sebagai gantinya, hidup sebagai diri sendiri dan sebagai ego seseorang.</p> <p style="text-align: center; padding: .6em 1em; border: 1px solid black; border-radius: 5px; margin: .5em 0 2em;">Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: <a href="https://c4ss.org/dukung-c4ss." target="_blank" rel="noreferrer nofollow noopener">https://c4ss.org/dukung-c4ss.</a></p> <hr /> <p>1 King Jr, ML (1963). Surat dari Penjara Birmingham, April 1963.</p> <p>2 Stirner, M. (2019). <i>Ego dan dirinya sendiri</i>. Good Press.</p> <p>3 Bakunin, M.A. (1970). <i>Tuhan dan Negara</i>. Perusahaan Kurir.</p> <p>4 Kretzmann, N. (1988). Lex Iniusta Non est Lex-Hukum yang Diadili dalam Pengadilan Hati Nurani Aquinas. <i>Am. J. Juris</i>, <i>33</i>, 99.</p> <p>5 Agustinus, S. (2010). Agustinus: Tentang pilihan bebas dari kehendak, tentang anugerah dan pilihan bebas, dan tulisan-tulisan lainnya. Cambridge University Press. Hal. 10.</p> <p>6 Chelcicky, P. (2011). Tentang Tiga Pembagian Masyarakat. Dalam Long, M.G. (Ed.). <i>Perdamaian Kristen dan Nirkekerasan: Sebuah Sejarah Dokumenter</i>. (pp. 68-70). Maryknoll, New York: Orbis Books.</p> <p>7 (Stirner, M., 2019)</p> <p>8 Craig, A. (2022, Maret 22). <i>Kekristenan dan Egoisme</i>. Center for a Stateless Society. https: //c4ss. org/content/56448</p> <p>9 Jika cinta eros adalah cinta kepada yang ilahi, dan cinta philos adalah cinta timbal balik dalam persahabatan, maka cinta agape adalah cinta yang sepenuhnya terbuka atau cinta tanpa syarat.</p> ]]></content:encoded> </item> <item> <title>Wilhoit, Anti-Conservatism, and Anarchism</title> <link>https://c4ss.org/content/59909</link> <dc:creator><![CDATA[Kevin Carson]]></dc:creator> <pubDate>Fri, 22 Nov 2024 12:00:14 +0000</pubDate> <category><![CDATA[Commentary]]></category> <category><![CDATA[anarchism]]></category> <category><![CDATA[conservatism]]></category> <category><![CDATA[institutions]]></category> <category><![CDATA[Kevin Carson]]></category> <category><![CDATA[liberalism]]></category> <category><![CDATA[libertarian socialism]]></category> <category><![CDATA[Progressivism]]></category> <category><![CDATA[Wilhoit]]></category> <guid isPermaLink="false">https://c4ss.org/?p=59909</guid> <description><![CDATA[Frank Wilhoit’s definition of conservatism (about which much more below) was not, as you would expect from something so incisive and widely quoted, formulated years ago in a scholarly book or article. It appeared only six years ago, in a lengthy comment by Wilhoit (a composer and music theorist), under a blog post by Henry...]]></description> <content:encoded><![CDATA[<p><span style="font-weight: 400;">Frank Wilhoit’s definition of conservatism (about which much more below) was not, as you would expect from something so incisive and widely quoted, formulated years ago in a scholarly book or article. It appeared only six years ago, in a lengthy </span><a href="https://crookedtimber.org/2018/03/21/liberals-against-progressives/#comment-729288"><span style="font-weight: 400;">comment</span></a><span style="font-weight: 400;"> by Wilhoit (a </span><a href="https://www.broadheath.com/"><span style="font-weight: 400;">composer and music theorist</span></a><span style="font-weight: 400;">), under a </span><a href="https://crookedtimber.org/2018/03/21/liberals-against-progressives/"><span style="font-weight: 400;">blog post</span></a><span style="font-weight: 400;"> by Henry Farrell at </span><i><span style="font-weight: 400;">Crooked Timber</span></i><span style="font-weight: 400;">, criticizing the viewpoint that would later come to be associated with the sort of </span><a href="https://www.vox.com/2019/8/27/20834957/bret-stephens-bedbug-meltdown-dave-karpf-new-york-times-explained"><span style="font-weight: 400;">centrist bedbug commentators</span></a><span style="font-weight: 400;"> who write at Very Serious Publications like </span><i><span style="font-weight: 400;">The Atlantic</span></i><span style="font-weight: 400;"> and the </span><i><span style="font-weight: 400;">NYT</span></i><span style="font-weight: 400;"> op-ed page. Wilhoit commented:</span></p> <blockquote><p><span style="font-weight: 400;">There is no such thing as liberalism — or progressivism, etc.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">There is only conservatism. No other political philosophy actually exists; by the political analogue of Gresham’s Law, conservatism has driven every other idea out of circulation.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">There might be, and should be, anti-conservatism; but it does not yet exist. What would it be? In order to answer that question, it is necessary and sufficient to characterize conservatism. Fortunately, this can be done very concisely.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">Conservatism consists of exactly one proposition, to wit:</span></p> <p><i><span style="font-weight: 400;">There must be in-groups whom the law protects but does not bind, alongside out-groups whom the law binds but does not protect….</span></i></p> <p><span style="font-weight: 400;">As the core proposition of conservatism is indefensible if stated baldly, it has always been surrounded by an elaborate backwash of pseudophilosophy, amounting over time to millions of pages. All such is axiomatically dishonest and undeserving of serious scrutiny. Today, the accelerating de-education of humanity has reached a point where the market for pseudophilosophy is vanishing; it is, as The Kids Say These Days, tl;dr . All that is left is the core proposition itself — backed up, no longer by misdirection and sophistry, but by violence.</span></p></blockquote> <p><span style="font-weight: 400;">The violence has always been a key accompaniment to the ideology; it has always depended on Freikorps,  Blackshirts, Legionnaires, Klansmen  and death squads to remind outgroups of their place in the social order, when they try to get above their station. But in recent years, as Wilhoit says, the ideology has increasingly set aside all the trappings of “cake of custom” and “wisdom of the unlettered,” and all of Russell Kirk’s other vacuous second-hand blatherings from Burke, in favor of pure violence. “Violence” refers not only to the physical violence of street thugs like Proud Boys, Three Percenters, Boogaloo Boys </span><i><span style="font-weight: 400;">et al</span></i><span style="font-weight: 400;">, but to all the rhetorical violence and symbolism aimed at mocking the marginalized, reminding them of their outsider status, and isolating them in the face of the collective of right-thinking citizens and its potential for backing up its normative status with the sanction of physical violence if necessary. The message, loud and clear, is “You best get your mind right and keep in your place. Else we’re coming for you. And no one will lift a finger to save you.” We saw it recently displayed in the lying gutter propaganda of Vance and Trump, aimed at stirring up a pogrom against Haitian immigrants in Springfield, Ohio.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">I’ve previously written that the word “freedom,” as it appears in right-wing discourse, would make a lot more sense if it were routinely translated into “white folkways” (violently enforced, of course). As Madeline Ashby pointed out in a </span><a href="https://bsky.app/profile/madelineashby.bsky.social/post/3l2eyzpwwe52r"><span style="font-weight: 400;">post</span></a><span style="font-weight: 400;"> on Bluesky onAugust 23:</span></p> <blockquote><p><span style="font-weight: 400;">Someone asked me why they thought they’d “score points” [by mocking Tim Walz’s son for crying out of joy and pride for his dad]. I did a dept honours thesis on Holocaust history; it’s not about points. It’s about social enforcement: viciously putting “undesirables” in place while proving to everyone else that no help is coming for them when it’s their turn.</span></p></blockquote> <p><span style="font-weight: 400;">The fascist impulse to crush empathy and sincerity comes from a real tactical understanding that a population with both will defend its most vulnerable.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">Wilhoit concludes by calling for the development of the hitherto-lacking anti-conservative ideology:</span></p> <blockquote><p><span style="font-weight: 400;">So this tells us what anti-conservatism must be: the proposition that the law cannot protect anyone unless it binds everyone, and cannot bind anyone unless it protects everyone.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">Then the appearance arises that the task is to map “liberalism”, or “progressivism”, or “socialism”, or whateverthefuckkindofstupidnoise-ism, onto the core proposition of anti-conservatism.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">No, it a’n’t. The task is to throw all those things on the exact same burn pile as the collected works of all the apologists for conservatism, and start fresh. The core proposition of anti-conservatism requires no supplementation and no exegesis. It is as sufficient as it is necessary. What you see is what you get:</span></p> <p><b>The law cannot protect anyone unless it binds everyone; and it cannot bind anyone unless it protects everyone.</b><span style="font-weight: 400;">”</span></p></blockquote> <p><span style="font-weight: 400;">I disagree with Wilhoit on one particular — that the core proposition of anti-conservatism cannot be “mapped onto,” or does not coincide with, the tenets of any other ideology, and that it cannot benefit from elaboration or exegesis.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">The core principles of the various ideologies conventionally assigned to the left, since the term “left” was first assigned to representatives of the Third Estate in the French National Assembly — the ideologies of liberalism, socialism, and anarchism, all closely related and intertwined and growing from common Enlightenment roots — have always been Liberty, Equality, and Fraternity.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">The closest approximation to the goal of a society whose governance structures bind and protect all equally can be found in the principles of libertarian socialism. Libertarian socialism not only shares with the broader left the Enlightenment principles that all are of equal dignity and worth, all are ends in themselves, and the equal agency, self-development and flourishing of each should be promoted to the maximum extent possible; it develops these principles most fully in its own principle that all should have an equal say in the decisions that bind them or affect their daily lives. This means a society in which all the institutions whose decisions affect us — workplaces, public utilities and other public services, states — should be cooperatively owned and democratically self-governed.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">This latter principle, in turn, is most fully expressed in anarchism, which properly understood is not the antithesis of democracy but its perfect fulfillment. Majoritarianism is not the ultimate value of democracy. Consent is; universal, unanimous consent of the governed to the decisions that affect their lives, with no governance of anyone in any regard without their consent, is the highest form of democracy. Majoritarianism is simply a modification or compromise of this principle — a concession in which a decision must be made binding upon all within some indivisible functional unit. When a neighborhood or town power or sewer system must pursue a single policy, or a workplace must decide on a particular product line or production method — or when those sharing a common domicile must agree on a living room thermostat setting, for that matter — an agreement among those involved to respect the decision of the majority is the closest approximation possible to unanimous consent. </span></p> <p><span style="font-weight: 400;">An anarchist society is one in which the institutions affecting people’s lives are governed by direct democracy where necessary, and the common infrastructures supporting such workplaces, services, communes, etc., are maintained by purely administrative federal bodies subject to control by the local bodies participating in them. No institution exerts sovereign control, or a general police power, over a given territory; to the extent necessary, a body of common law will arise from the ongoing interactions between and within the communities comprising such local and federal bodies, and governing only the relations between the bodies affected. The general principle goes back to Saint-Simon’s substitution of administration of things for legislation over persons, as developed by socialists ranging from Proudhon (dissolution of the state in the social body) to Marx and Engels (withering away of the state).</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">Libertarian socialism is the highest development of anti-conservatism, and anarchism is the highest development of libertarian socialism.</span></p> ]]></content:encoded> </item> <item> <title>Se Incroci Pinochet con una Distopia Cyberpunk…</title> <link>https://c4ss.org/content/59982</link> <dc:creator><![CDATA[Kevin Carson]]></dc:creator> <pubDate>Thu, 21 Nov 2024 09:25:04 +0000</pubDate> <category><![CDATA[Italian]]></category> <category><![CDATA[Stateless Embassies]]></category> <category><![CDATA[Augusto Pinochet]]></category> <category><![CDATA[Bill Gates]]></category> <category><![CDATA[cyberpunk]]></category> <category><![CDATA[Honduras]]></category> <category><![CDATA[land]]></category> <category><![CDATA[neoliberalism]]></category> <category><![CDATA[techno-feudalism]]></category> <guid isPermaLink="false">https://c4ss.org/?p=59982</guid> <description><![CDATA[…cosa ottieni? Risposta: le “zone libere speciali”. Di Kevin Carson. Originale pubblicato il 9 novembre 2024 con il titolo When You Cross Pinochet with a Cyberpunk Dystopia… Traduzione italiana di Enrico Sanna. Le zone libere speciali sono quelle che Liz Wolfe su Reason chiama “città a statuto speciale” dell’Honduras, note ufficialmente come ZEDE (Zonas de...]]></description> <content:encoded><![CDATA[<h2>…cosa ottieni? Risposta: le “zone libere speciali”.</h2> <p style="text-align: left; padding: 1em; background: #e6e6e6;">Di <b>Kevin Carson</b>. Originale pubblicato il 9 novembre 2024 con il titolo <a href="https://c4ss.org/content/59956">When You Cross Pinochet with a Cyberpunk Dystopia…</a> Traduzione italiana di <a href="https://tinyurl.com/3scy96ry">Enrico Sanna</a>.</p> <p>Le zone libere speciali sono quelle che Liz Wolfe su <i>Reason</i> <a href="https://reason.com/2024/09/25/no-more-special-little-freedom-zones/">chiama</a> “città a statuto speciale” dell’Honduras, note ufficialmente come ZEDE (Zonas de Empleo y Desarrollo Económico) e dichiarate illegali dalla Corte Suprema l’undici settembre scorso (<a href="https://reason.com/2024/09/25/no-more-special-little-freedom-zones/">“No More Special Little Freedom Zones,”</a> 25 settembre). Il verdetto ne vieta di nuove, mentre per quelle esistenti, come Próspera, <a href="https://reason.com/2022/04/27/honduras-ends-its-experiment-with-charter-cities/">Ciudad Morazán,</a> e <a href="https://reason.com/2022/04/27/honduras-ends-its-experiment-with-charter-cities/">Zede Orquidea</a>, il destino è incerto.</p> <p>La Wolfe definisce le città a statuto speciale “zone economiche speciali soggette al codice penale ma con la possibilità di crearsi un proprio codice civile.” E aggiunge: “hanno leggi e regolamenti propri e solitamente offrono condizioni favorevoli alle imprese riducendo le tasse.”</p> <p>Da quando un regime di destra è andato al potere con un colpo di stato nel 2009, <i>Reason</i>, in particolare Brian Doherty, si è trasformato in una sorta di <a href="https://www.google.com/search?q=site%3Areason.com+Doherty+Honduras&amp;rlz=1CALBTX_enUS1056US1056&amp;sourceid=chrome&amp;ie=UTF-8">piazzista</a> delle “zone libere speciali”. Doherty <a href="https://reason.com/2013/05/13/the-blank-slate-state/">cita</a> un articolo scritto da Bryan Caplan per la Fondazione Bill e Melinda Gates:</p> <blockquote><p>“Nasce una città a statuto speciale in una terra libera,” dice. “Può crescere solo con l’immigrazione spontanea di lavoratori e investitori. Se la gente non ci va, la loro condizione non cambia, ed è come se la città non fosse mai esistita.”</p></blockquote> <p>Ma vediamo meglio cosa significa questo “terra libera”. L’Honduras, <a href="https://foreignpolicy.com/2015/10/23/there-are-no-peasants-here-honduras-zedes-land-grabs/">scrive</a> su Foreign Policy Lauren Carasik, come tanti altri posti nel Terzo Mondo, è caratterizzato da molto tempo da una proprietà fondiaria irregolare o informale, non accatastata o riconosciuta in qualche modo dallo stato.</p> <blockquote><p>Ortiz vive da decenni in un pezzo di terra della comunità di Playa Blanca, sull’isola di Zacate Grande, al largo dell’Honduras. Il problema è che non ha un titolo di proprietà e pertanto non può vantare diritti sulla sua terra. È un problema comune: secondo un rapporto di USAID del 2011 circa l’ottanta percento delle terre private sono o prive di titoli o con titoli irregolari.</p></blockquote> <p>Pubblicisti come Hernando de Soto sostengono che questa assenza di titoli legali, e dunque di certezza e prevedibilità, questa impossibilità di proteggere una proprietà e siglare un contratto, è una delle ragioni principali della permanenza del sottosviluppo. Secondo de Soto, la formalizzazione dei titoli informali è un passo importante verso il benessere.</p> <p>Ma il diavolo è nei dettagli. La proprietà fondiaria consuetudinaria, o informale, può essere formalizzata in due modi: verso il basso o verso l’alto. Prendiamo ad esempio la “riforma fondiaria” inglese avvenuta nel Seicento dopo la restaurazione del regno di Carlo II. Come spiega Christopher Hill, il parlamento poteva fare una regolarizzazione verso il basso abolendo la proprietà feudale e la rendita e riconoscendo formalmente i contadini come proprietari per legge della terra occupata e lavorata da loro. Oppure il contrario abolendo gli obblighi feudali dei latifondisti e i diritti consuetudinari dei fittavoli per trasformare i primi in proprietari assoluti, nel senso moderno capitalista, e i secondi in semplici locatari senza terra. Com’è facile immaginare, il parlamento, egemonizzato dalla nobiltà e dalla borghesia terriera, optò per il secondo. Per dirla con Christopher Hill, “l’abolizione dell’ordinamento fondiario feudale avvenne verso l’alto, non verso il basso.”</p> <p>E guarda caso il presidente di sinistra detronizzato dal golpe del 2009, Manuel Zelaya, stava elaborando una riforma fondiaria che regolarizzava, legalizzandola, la proprietà informale o consuetudinaria di chi la lavorava. Non proprio quello che volevano gli oligarchi terrieri onduregni (al pari di quelli inglesi del Seicento).</p> <p>Portato al potere dal golpe che detronizzò Zelaya, il nuovo presidente Hernández varò il progetto delle città a statuto speciale. Con i contadini privi di diritti di proprietà, la terra che questi lavoravano, e che faceva gola ai mercanti delle ZEDE, diventava “terra di nessuno”, spiega Carasik:</p> <blockquote><p>L’isola di Zacate Grande, dove solo alcune famiglie <i>campesinas</i> erano proprietarie di diritto, è una finestra aperta su un possibile futuro. Secondo la legge sulle ZEDE, gli espropriati hanno diritto un indennizzo, ma pochi sono quelli che hanno i documenti necessari a chiederlo. E senza risorse legali e finanziarie, i <i>campesinos</i> di Zacate Grande non possono opporsi allo sfratto dimostrando di essere possessori di lungo termine.</p></blockquote> <p>Mentre i neoliberali sostenitori delle città a statuto speciale si mostrano dispiaciuti e parlano di “debolezza delle istituzioni” e della necessità di uno “stato di diritto”, i predoni delle ZEDE sfruttano proprio questa debolezza istituzionale per razziare terre comuni per fini propri.</p> <p>In più, se le aree densamente popolate possono decidere con un referendum se essere incorporate in una ZEDE o meno, quelle scarsamente popolate come i villaggi confinanti non hanno strumenti legali contro l’annessione.</p> <p>Altro fatto sospetto è che, per quanto Wolfe dica che le città a statuto speciale possono avere un “loro” codice civile, in realtà questo potere è limitato alle imprese che vi hanno sede: sono i loro investitori che si fanno da sé le leggi a cui sottostare. Pur essendo la popolazione costituita nella stragrande maggioranza da lavoratori, le autorità politiche che fanno le leggi e i regolamenti sono i padroni delle imprese, i padroni del capitale.</p> <p>Questa insomma è una “utopia di libero mercato” resa possibile da un regime golpista, costruita su terre rubate ai contadini e con “diritti di proprietà” originati dal furto, e dove la maggioranza della popolazione deve obbedire alle leggi scritte dai loro datori di lavoro. Forse per qualche seguace di Hoppe, o per quelli che pensano che <a href="https://it.wikipedia.org/wiki/Snow_Crash"><i>Snow Crash</i></a> sia il mondo ideale, questa è “libertà economica”. Per noi è tutt’altro.</p> <p style="text-align: center; padding: .6em 1em; border: 1px solid black; border-radius: 5px; margin: .5em 0 2em;">Le nostre traduzioni sono finanziate interamente da donazioni. Se vi piace quello che scriviamo, siete invitati a contribuire. Trovate le istruzioni su come fare nella pagina <i>Sostieni C4SS</i>: <a href="https://c4ss.org/sostieni-c4ss">https://c4ss.org/sostieni-c4ss</a>.</p> ]]></content:encoded> </item> <item> <title>Menakar Ulang dan Janji-janji Palsu Kapitalisme</title> <link>https://c4ss.org/content/59980</link> <dc:creator><![CDATA[Eric F.]]></dc:creator> <pubDate>Wed, 20 Nov 2024 09:05:28 +0000</pubDate> <category><![CDATA[Indonesian]]></category> <category><![CDATA[Stateless Embassies]]></category> <category><![CDATA["free trade"]]></category> <category><![CDATA[globalization]]></category> <category><![CDATA[localism]]></category> <category><![CDATA[Noam Chonsky]]></category> <category><![CDATA[Zapatistas]]></category> <guid isPermaLink="false">https://c4ss.org/?p=59980</guid> <description><![CDATA[Oleh: Eric F. Teks aslinya berjudul “Scaling Across and Capitalism’s False Promises”, diterjemahkan oleh Sachadru. Margaret Wheatley dan Deborah Frieze’s Walk Out Walk On: A Learning Journey into Communities Daring to Live the Future Now adalah sebuah survei yang luar biasa mengenai proyek-proyek anti-kapitalis yang terdesentralisasi di seluruh dunia. Secara khusus, mereka menggunakan contoh Unitierra...]]></description> <content:encoded><![CDATA[<p style="text-align: left; padding: 1em; background: #e6e6e6;">Oleh: <b>Eric F</b>. Teks aslinya berjudul “<a href="https://c4ss.org/content/56707">Scaling Across and Capitalism’s False Promises</a>”, diterjemahkan oleh Sachadru.</p> <p>Margaret Wheatley dan Deborah Frieze’s <i>Walk Out Walk On: A Learning Journey into Communities Daring to Live the Future Now</i> adalah sebuah survei yang luar biasa mengenai proyek-proyek anti-kapitalis yang terdesentralisasi di seluruh dunia. Secara khusus, mereka menggunakan contoh Unitierra &#8211; “bentuk baru universitas” &#8211; dan Zapatista di Meksiko untuk mengidentifikasi perbedaan antara “meningkatkan” dan “memperluas”, dengan yang pertama adalah modus ekspansi kapitalis yang normal di mana proses-prosesnya distandarisasi dan direplikasi dalam skala yang lebih besar dan lebih luas, dan yang kedua adalah berbagi ide dan sumber daya di antara banyak gerakan lokal sambil tetap menghargai kekhususan gerakan-gerakan tersebut &#8211; melalui apa yang mereka sebut “pembelajaran trans-lokal”. Berkana Institute mendefinisikan istilah ini sebagai…</p> <blockquote><p>sebuah proses untuk menghubungkan komunitas yang memiliki solusi untuk dibagikan. Solusi, teknologi, dan metode ini dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan berakar di lingkungan lokal yang baru. Di sana mereka muncul menjadi sesuatu yang berbeda, dipengaruhi oleh budaya, cita rasa, dan bentuk lokal.</p></blockquote> <p>Ini adalah konsep yang sangat penting untuk mengkonseptualisasikan jalan keluar dari kapitalisme, karena menyiratkan “bahwa perubahan sistem berskala besar yang didambakan oleh banyak dari kita muncul ketika aksi-aksi lokal terhubung secara global-sambil tetap melestarikan budaya, cita rasa, dan bentuknya yang sangat lokal. Bagaimana jika orang-orang yang bekerja di tingkat lokal dapat belajar dari satu sama lain, berlatih bersama, dan berbagi pengetahuan mereka &#8211; secara bebas dan lancar &#8211; dengan masyarakat di mana saja?” Dan apa yang ingin saya tunjukkan secara khusus adalah cara di mana penskalaan lintas (dan pembelajaran lintas-lokal) dapat memenuhi janji-janji yang tidak dapat dipenuhi oleh kapitalisme, dengan logika internalnya sendiri, yaitu pembentukan masyarakat global yang terdiri dari individu-individu yang bebas.</p> <p>Kapitalisme sering disebut-sebut sebagai sistem yang memprioritaskan kebebasan individu di atas kesetaraan kolektif, sedangkan sosialisme sebaliknya dan oleh karena itu tidak diinginkan. Namun, Corey Robin menjelaskan bahwa…</p> <blockquote><p>[A]rgumen sosialis terhadap kapitalisme bukanlah bahwa kapitalisme membuat kita miskin. Melainkan karena kapitalisme membuat kita tidak bebas. Ketika kesejahteraan saya bergantung pada keinginan Anda, ketika kebutuhan dasar hidup memaksa tunduk pada pasar dan penaklukan di tempat kerja, kita hidup bukan dalam kebebasan, tetapi dalam dominasi. Kaum sosialis ingin mengakhiri dominasi tersebut: untuk membangun kebebasan dari aturan bos, dari keharusan untuk tersenyum demi penjualan, dari kewajiban untuk menjual demi kelangsungan hidup [1].</p></blockquote> <p>Realitas diktator dari tempat kerja yang hirarkis dan pasar yang tersentralisasi dalam hal kebutuhan seperti makanan, air, dan perawatan kesehatan sulit untuk disangkal jika Anda memiliki pengalaman sebagai orang awam dalam ekonomi saat ini, sehingga para pembela kapitalisme sering berargumen bahwa setidaknya dalam hal konsumsi yang tidak penting, orang memiliki banyak kebebasan; jika Anda menabung cukup banyak, Anda dapat membeli pakaian terbaru yang ingin Anda kenakan, jenis komputer yang ingin Anda gunakan, dan jenis kopi yang ingin Anda minum. Intinya: Anda menanggung ketidakbebasan di tempat kerja dan ekonomi secara umum untuk merasakan kebebasan dan keragaman konsumsi kapitalis. Namun Wheatley dan Frieze menunjuk pada “keseragaman Starbucks, McDonalds, atau Wal-Mart” sebagai contoh tandingan terhadap klaim ini. Mereka menjelaskan bahwa perluasan skala “menciptakan monokultur yang bergantung pada replikasi, standardisasi, promosi, dan kepatuhan.”</p> <p>Hal ini dapat dikontraskan secara langsung dengan gerakan anti-kapitalis di Meksiko yang terkait-dengan satu atau lain cara-dengan Uniterria dan/atau Zapatista seperti Red Autónoma para la Soberanía Alimentaria (Jaringan Otonom untuk Kedaulatan Pangan), yang mempromosikan hak masyarakat “untuk memutuskan sendiri apa yang mereka makan dan kemampuan mereka untuk memproduksinya;” atau Pusat Otonom untuk Penciptaan Teknologi Tepat Guna Antarbudaya, di mana “terdapat mesin bertenaga sepeda, oven surya, toilet kompos kering, humanure dan vermicomposting (cara-cara memanen sampah organik sebagai pupuk), sistem tangkapan air hujan, pertanian perkotaan skala kecil dan proyek-proyek ekobangunan, bahan bakar alternatif daur ulang, dan bahkan sedikit tenaga angin.” Semua proses ini bekerja sama untuk memperkuat “kapasitas pembelajaran otonom masyarakat, komunitas, dan lingkungan untuk menghasilkan kemandirian ekonomi dan sosial.” Lebih jauh lagi, kelompok-kelompok orang yang mengambil bagian dalam perwujudan skala ini menghapuskan perbedaan antara produsen dan konsumen dan memberikan konstituen mereka masing-masing kontrol yang tulus atas kehidupan dan konsumsi mereka. Tidak hanya itu, para penulis menulis dalam uraian mereka tentang scaling across bahwa “orang-orang dengan penuh semangat mendukung hal-hal yang [mereka] memiliki andil dalam menciptakannya,” dan “memiliki andil” dalam penciptaan inilah yang menjadi prinsip yang digunakan oleh perusahaan koperasi dan proyek-proyek milik masyarakat untuk mengatasi ketidakbebasan yang disebutkan di atas di tempat kerja kapitalis, karena ekonomi lokal yang terdiri dari upaya-upaya ini merupakan cara produksi yang secara fundamental demokratis.</p> <p>Di samping kebebasan individu, salah satu nilai kapitalisme yang dianggap penting adalah sifatnya yang universal dan, sebagai konsekuensinya, kemampuannya untuk membentuk masyarakat global. Wheatley dan Frieze menjelaskan bahwa pembelajaran trans-lokal tidak menentang globalisasi, bahkan menyambut baik aliran “ide dan sumber daya” ke seluruh dunia. Yang ditentangnya adalah globalisasi “perusahaan multinasional, perdagangan bebas, pembangunan ekonomi” yang menyiratkan “universalitas, solusi tunggal, produk, atau ideologi yang dapat diterapkan di mana saja, tanpa memandang tempat, orang, atau budaya.” Dan kebijakan-kebijakan globalisasi semacam ini seperti perdagangan ‘bebas’ sama sekali tidak bebas-dengan adanya imperialisme perbatasan yang sedang berlangsung, hak-hak istimewa yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan, dan ide-ide yang ditangkap melalui hukum kekayaan intelektual. Pada akhirnya, Noam Chomsky menjelaskan bahwa</p> <blockquote><p>[S]istem propaganda yang dominan telah menggunakan istilah “globalisasi” untuk merujuk pada versi tertentu dari integrasi ekonomi internasional yang mereka sukai, yang mengistimewakan hak-hak investor dan pemberi pinjaman, sementara hak-hak manusia hanya bersifat insidental. Sesuai dengan penggunaan ini, mereka yang mendukung bentuk integrasi internasional yang berbeda, yang mengistimewakan hak-hak manusia, menjadi “anti-globalis” [2].</p></blockquote> <p>Oleh karena itu, para ‘anti-globalis’ dapat (dan memang) memanfaatkan skala lintas dan trans-lokal untuk merangkul pergerakan ide, sumber daya, dan orang-orang yang bebas karena, seperti yang ditulis Wheatley dan Frieze, “satu-satunya cara agar perubahan berskala besar dapat terjadi adalah dengan mengundang ide dan sumber daya untuk mengalir ke seluruh dunia.” Dan permulaan dari perubahan skala besar dengan cara ini dapat dilihat dalam bentuk alter-globalisasi, yang diidentifikasi oleh Arun Kumar Pokhrel sebagai “berbagai gerakan sosial yang mengupayakan kerja sama dan interaksi global untuk melawan dampak sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan yang negatif dari globalisasi neoliberal kontemporer”, seperti “kesenjangan yang semakin melebar antara yang kaya dan yang miskin, perusakan lingkungan hidup, serta eskalasi konflik sipil dan konflik internasional.”</p> <p>Kebebasan individu itu baik! Kerja sama global itu baik! Dan di bawah asumsi-asumsi inilah kapitalisme mencoba memposisikan dirinya sebagai sesuatu yang baik. Namun, kapitalisme tidak akan dan tidak dapat benar-benar menghasilkan kualitas-kualitas sosio-ekonomi ini. Pertanyaan yang perlu diajukan dari pengamatan di atas adalah: jika perluasan melalui pembelajaran trans-lokal yang dikombinasikan dengan strategi anti-kapitalis lainnya dapat memberikan kebebasan dan keterhubungan global yang dijanjikan oleh kapitalisme, apakah hal tersebut dapat memberikannya dalam skala yang cukup besar untuk menumbangkan dan bahkan menggantikan kapitalisme? Hal ini mungkin tampak seperti tugas yang menakutkan dan terkadang mustahil, namun seperti yang dikatakan Ursula K Le Guin, “Kita hidup dalam kapitalisme, kekuatannya tampaknya tidak dapat dihindarkan &#8211; namun begitu pula hak ilahi para raja. Kekuasaan manusia apa pun dapat dilawan dan diubah oleh manusia.”</p> <hr /> <p>1. Saya berpendapat bahwa “tunduk pada pasar” hanya merupakan masalah yang sebenarnya dalam konteks pasar kapitalis yang tidak bebas. Untuk informasi mengenai pasar non-kapitalis yang bebas, lihat “The Freed Market” oleh William Gillis dan “Markets Freed from Capitalism” oleh Charles Johnson dalam <i>Markets Not Capitalism</i>.</p> <p>2. Lihat wawancara Chomsky dengan Sniježana Matejčić.</p> <p style="text-align: center; padding: .6em 1em; border: 1px solid black; border-radius: 5px; margin: .5em 0 2em;">Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: <a href="https://c4ss.org/dukung-c4ss." target="_blank" rel="noreferrer nofollow noopener">https://c4ss.org/dukung-c4ss.</a></p> ]]></content:encoded> </item> <item> <title>Uma História Orientalista da Transmisoginista</title> <link>https://c4ss.org/content/59978</link> <dc:creator><![CDATA[Julianna Neuhouser]]></dc:creator> <pubDate>Wed, 20 Nov 2024 09:02:04 +0000</pubDate> <category><![CDATA[Portuguese]]></category> <category><![CDATA[Stateless Embassies]]></category> <category><![CDATA[colonialism]]></category> <category><![CDATA[global south]]></category> <category><![CDATA[History]]></category> <category><![CDATA[homophobia]]></category> <category><![CDATA[orientalism]]></category> <category><![CDATA[TERFs]]></category> <category><![CDATA[trans]]></category> <category><![CDATA[transgender]]></category> <category><![CDATA[transphobia]]></category> <guid isPermaLink="false">https://c4ss.org/?p=59978</guid> <description><![CDATA[Por Julianna Neuhouser. Artigo original: An Orientalist History of Transmisogyny, 27 de maio de 2023. Traduzido para o português por Nico. A Short History of Trans Misoginy, de Jules Gill-Peterson é o mais recente sucesso em publicações trans. Lançado em tempos de retrocesso aos direitos trans, por parte de uma coalizão que reune figuras tão...]]></description> <content:encoded><![CDATA[<p style="text-align: left; padding: 1em; background: #e6e6e6;">Por <b>Julianna Neuhouser</b>. Artigo original: <a href="https://c4ss.org/content/59643">An Orientalist History of Transmisogyny</a>, 27 de maio de 2023. Traduzido para o português por Nico.</p> <p><i>A Short History of Trans Misoginy</i>, de Jules Gill-Peterson é o mais recente sucesso em publicações trans. Lançado em tempos de retrocesso aos direitos trans, por parte de uma coalizão que reune figuras tão variadas como J.K. Rowling e Javier Milei, o livro se se propõe a analisar as origens de um mundo no qual o ódio a transfeminilidade se tornou absurdamente <i>útil</i>. E é perceptível que muitos concordam que estes objetivos foram alcançados, já que a capa do livro conta com elogios de figuras ilustres como Torrey Peters, Shon Faye e Susan Stryker. Gill-Peterson, busca enquadrar a transmisogonia no <i>longue durée</i>, contextualizando os pânicos morais transmisóginos do começo do século vinte pelas lentes da violência colonial, focando especialmente no antebellum<b> </b>dos Estados Unidos. Infeliz e ironicamente, entretanto, quando ela observa o Sul Global  — especialmente América Latina — ela engaja em um peculiar jogo de apagamento e romantização, subestimando os problemas bastante reais enfrentados por pessoas transfemininas fora do núcleo imperial enquanto idealiza seus modos de vida. A conclusão que ela chega, para parafrasear Edward Said, envolve uma forma de chegar ao consenso baseado no papel especial que a América Latina tem na experiência Norte Americana: uma fonte de fantasias de libertação sexual invés de uma região enorme, extremamente diversa com sua história particular e complexa.</p> <p>Os problemas começam cedo — Gill-Peterson inicia sua análise do imperialismo e da transmisoginia não com a conquista espanhola ou portuguesa das Américas, mas próxima da Revolta Indígena de 1857 — três décadas após o colapso do Império Espanhol, constituindo no apagamento da violência colonial antitrans ao logo do território que hoje é conhecido como América Latina. “Um novo relacionamento entre o homem e a transfeminilidade tomava forma”, ela escreve sobre violência imperial do século dezenove, como se ela já não tivesse tomado forma centenas de séculos antes em grandes partes do mundo que ela escolheu ignorar. Nenhuma pesquisa de arquivos seria necessária aqui: mesmo em textos extremamente básicos como  <i>The True History of the Conquest of New Spain </i>de  Bernal Díaz del Castillo, nele há incontáveis referências escandalizantes a “sodomia” Mesoamericana e relatos de tentativas de conquistadores de por fim as práticas sexuais que entram nesta classificação, “pois haviam muitos meninos vestidos como meninas que ganhavam dinheiro naquela profissão maldita”. Essa violência transmisógina continuou ao longo da era colonial; um dos casos mais famosos é o de Cotita de la Encarnacion, uma crossdresser afro-mexicana que foi torturada e queimada na fogueira na Cidade do México em 1658, e cuja história chegou a ser imortalizada na história de Camila Sosa,  <i>I’m a Fool to Want You </i><b>— </b>dado sua romantização<b> </b>da identidade travesti, seria esperado que ela tenha lido Camila Sosa, mas talvez essa seja uma suposição incorreta.</p> <p>Essa falta de familiaridade com a literatura fora do Norte Global é um tema constante ao longo do livro, desmentindo a sua pretensão de ser uma história global. Na introdução, ela tenta examinar o tema de porque a misoginia tão comumente se torna mortal sem citar sequer uma feminista latino-americana, apesar de o feminicídio e as condições estruturais que a tornam possível sendo, possivelmente o tema mais teorizado pelas feministas da região. Apesar de, ou justamente por conta desta ignorancia, a conclusão do livro é uma descrição chocantemente orientalista das travestis da América Latina. É particularmente perverso que ela encontre somente romance aqui após sistematicamente apagar a violência antitrans endêmica  a região, que possivelmente é a região mais perigosa do mundo para pessoas transfemininas. Para Gill-Peterson, travestis são belas almas no sentido hegeliano, livres de qualquer envolvimento comprometedor com o capitalismo, o estado ou assimilação heteronormativa. E no entando, ao elogiar o conceito de organização “boa o suficiente” da ativista travesti argentina Marlene Wayar, que abraça praticalidade e imperfeição, ela parece falhar em compreender as formas em que organizar-se no “bom o suficiente”, sob condições mais duras do que as da Costa Leste dos Estados Unidos, pode levar pessoas trans a se organizarem em um partido de esquerda, ou a se aliar com organizações feministas radicais “antitráfico”. Como filósofo transfeminista mexicano, Siobhan Guerrero McManus escreveu que transfeminismos da América Latina são “radicalmente heterogêneos […] se nós examinarmos suas várias posições em tópicos tais como a questão política do transfeminismo, o local de fala de onde tais demandas são feitas e, finalmente, uma série de questões ligadas a trabalho sexual, sistema prisional, migração, violência e justiça, ambas no sentido econômico e de redistribuição, assim como em termos de restauração e reparação de danos causados as populações trans”. Na América Latina existem transativistas que lutam pela abolição do sistema prisional e transativistas que fazem lobby para sentenças mais duras como uma solução para o problema do transfeminicídio. Existem transativistas que se aliam com feministas radicais contra trabalhadoras sexuais e transativistas que se aliam com trabalhadoras sexuais contra feministas radicais; há as que se juntam a partidos políticos para garantir reformas e as que apostam em antiassimilação radical e engajam em ativismo de rua; transmedicalistas e mutantes de gênero. Em resumo, pessoas trans da América Latina são pessoas, em toda sua diversidade, igualmente capazes de trinfos e fracassos. Todas estas diferenças são ignoradas por Gill-Peterson, que invés disso encontrou um tópico homogêneo que responde mais a suas preocupações com as políticas queers dos EUA que quaisquer uma das crise políticas da América Latina e papel de movimentos anti-gênero em os precipitar; a história de ditaduras da região e a atual onda de vitórias eleitorais da direita populista estão completamente ausentes deste livro. Se seu livro acertadamente critica a romantização e exotização de mulher trans negras, escrevendo que elas são “politicamente idealizadas por aquele que não as conhecem&#8230; não raro, desconfortavelmente reivindicadas como posses por aqueles olhando para trás em busca de orientação,” ela parece alheia a ironia de que faz o mesmo com travestis, já que espera que a “mera presença delas&#8230; para saltarmos às boas politicas.”</p> <p>A segunda ironia aqui é que <i>há</i> muito que as pessoas trans do Norte Global podem aprender com as travestis — mas menos em termos de identidade e mais nas suas realizações políticas.  Contrária a imagem radicalmente antiassimilacionista que Gill-Peterson pinta das travestis e movimentos trans da Argetina, o país tem historicamente sido a vanguarda em assegurar direitos para a comunidade, um status que tem mantido desde que se tornou o primeiro país a permitir o reconhecimento legal de pessoas trans através da autoidentificação, até tudo começar a desabar após a tomada de poder da direita um par de meses atrás. Nós podemos aprender com a Escola para Travestis/Pessoas Trans Mocha Celis, um projeto de educação popular voltado para a comunidade, ou a Quota de Trabalho Trans, uma iniciativa do governo Fernandéz que reservou 1% do trabalho do setor público para pessoas trans e oferecendo incentivos para o setor privado para fazerem o mesmo, trazendo uma enorme diferença nas vidas de pessoas trans da classe trabalhadora —dois anos após o início do projeto, o número de pessoas trans empregadas pelo setor público aumento 900%, embora esse processo tenha sido desfeito por demissões massivas de travestis/trans no setor público, executadas pelo governo Milei. Outra iniciativa envolvia reparações para travestis e mulheres trans que sobreviveram a repressão sexual e dissidentes de gênero sob o período de golpe militar orquestrao pela CIA, uma repressão que continuou ao longo da transição democrática conforme a democracia burguesa que emergiu do colapso da junta conservou suas leis criminalizando pessoas trans. Todas estas iniciativas foram resultados de organizações políticas e militância, uma lição que pode ser aprendida por qualquer um em qualquer lugar do mundo. É difícil enxergar como a identidade travesti pode ser exportada sem simplesmente ser transformada em uma pose hipster sobre quem é o mais subversivo e transgressor, que entretanto, não faz nada para elevar a comunidade como um todo.</p> <p>Nós também devemos falar de seus erros. Um dos maiores tropeços dos movimentos trans/travestis da Argentina tem sido sua vergonhosa colaboração com feministas radicais que excluem trabalhadoras sexuais, uma aliança que sabota a posição material de incontáveis travestis precarizadas e mulheres trans. Em certo ponto, Gill-Peterson cita positivamente Marlene Wayar por sua postura antiassimilacionista sem mencionar seu abolicionismo ao trabalho sexual, o que à levou a assinar cartas abertas se opondo a descriminalização do trabalho sexual junto de organizações como a Coalition Against Trafficking in Women in Latin America and the Caribbean (CATWLAC), uma organização da aliança transfóbica internacional conhecida como Women Declaration Internacional (WDI) e cuja tesoureira (e ex-codiretora) é ninguém menos do que a ur-TERF Janice Raymind. Uma vez mais, a complexidade de políticas trans na América Latina parecem escapar a Gill-Peterson, ainda assim eu duvido que ela perca muito sono com isso, já que sua conclusão oferece uma fantasia orientalista de políticas travestis perfeitas traduzíveis em palavras como “<i>precarización</i>” ou “<i>lo suficiente bueno</i>” geralmente são mantidas em espanhol, como um turista experimentando palavras na língua local — o que ajuda na exotização de projetos subalternos.</p> <p>Neste momento de crise global para comunidades transfemininas, nós merecemos uma história da transmisoginia, mas nós também merecemos mais que isso. Nós merecemos uma com um escopo global, que leve a sério as tragédias e triunfos do Sul Global e que “fale com elas e as desça do pedestal da idealização, que é outra forma de recusar sua humanidade”, como a escritora espanhola trans Alana S. Portero escreveu em e execelent debut <i>Bad Habit</i>. Nós merecemos um foco nas formas de organização política para que possamos lutar como uma comunidade, invés de questões de identidade. Nós merecemos revolução, não romance.</p> ]]></content:encoded> </item> <item> <title>Juneteenth, and the Right-Wing Conception of “Freedom”</title> <link>https://c4ss.org/content/59964</link> <dc:creator><![CDATA[Kevin Carson]]></dc:creator> <pubDate>Mon, 18 Nov 2024 12:00:12 +0000</pubDate> <category><![CDATA[Commentary]]></category> <category><![CDATA[freedom]]></category> <category><![CDATA[GOP]]></category> <category><![CDATA[ideology]]></category> <category><![CDATA[juneteenth]]></category> <category><![CDATA[Kevin Carson]]></category> <category><![CDATA[propoganda]]></category> <category><![CDATA[republicans]]></category> <category><![CDATA[right libertarianism]]></category> <guid isPermaLink="false">https://c4ss.org/?p=59964</guid> <description><![CDATA[Billy Binion  (“Juneteenth is a Celebration of Freedom,” Reason, June 19) writes that, despite widespread right-wing aversion to Juneteenth as a holiday, the GOP “in some sense still fashions itself as the party of freedom.” Matt Yglesias is most famous these days for his almost daily garbage takes; but years ago, back when the Republican...]]></description> <content:encoded><![CDATA[<p><span style="font-weight: 400;">Billy Binion  (“</span><a href="https://reason.com/2024/06/19/juneteenth-is-a-celebration-of-freedom/"><span style="font-weight: 400;">Juneteenth is a Celebration of Freedom</span></a><span style="font-weight: 400;">,” </span><i><span style="font-weight: 400;">Reason</span></i><span style="font-weight: 400;">, June 19) writes that, despite widespread right-wing aversion to Juneteenth as a holiday, the GOP “</span><span style="font-weight: 400;">in some sense still fas</span><span style="font-weight: 400;">hions itself as the party of freedom.”</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">Matt Yglesias is most famous these days for his almost daily garbage takes; but years ago, back when the Republican progression toward fascism had gone no further than the Tea Party stage, he aptly commented on the </span><a href="https://archive.thinkprogress.org/tim-pawlenty-and-the-rhetoric-of-freedom-91943b1c2e3c/"><span style="font-weight: 400;">incoherence</span></a><span style="font-weight: 400;"> of right-wing conceptions of freedom:</span></p> <blockquote><p><span style="font-weight: 400;">I continue to be fascinated by the way in which the rhetoric of “freedom” is always so closely associated with authoritarian populist nationalist movements. Absolutely nothing in the imagery of the video or the policy agenda of the Republican Party is suggestive of freedom. It’s full of flags and grim-faced folks and bourgeois respectability and military jets flying in tight formation. It’s an ad from a conservative politician that’s about exactly what an ad from a conservative politician ought to be about — about preserving a way of life against Muslims, freeloaders, sexual deviants, and other threats.</span></p></blockquote> <p><span style="font-weight: 400;">Whenever the white, right-wing, and Evangelical demographic talks about its &#8220;freedoms,&#8221; you can get a good sense of what they mean by “freedoms” by translating it into &#8220;white folkways.&#8221; Whatever substantive content “freedom” has for them is wrapped up in a haze of 90s CMT video imagery about little white frame churches, porch swings, pickups, checkered picnic table cloths, gingham, flags, guns, and Murca HOO-raw! </span></p> <p><span style="font-weight: 400;">And the &#8220;threats&#8221; to these &#8220;freedoms&#8221; — i.e. white folkways — all boil down in one way or another to anything that undermines their status as the American cultural default by allowing people who are unlike them to exist in public: e.g. the very sight of multiracial commercials or TV sitcoms, trans people on beer cans, people speaking Spanish or same-sex couples holding hands in public, or schools teaching the actual history of slavery and acknowledging the existence of LGBT people. </span></p> <p><span style="font-weight: 400;">In short, their idea of &#8220;freedom&#8221; has about the same substantive content as &#8220;Freiheit&#8221; in Nazi ideology. </span><span style="font-weight: 400;">Remember when Sarah Palin talked about the &#8220;pro-America parts of America&#8221;? Just change &#8220;the people&#8221; to &#8220;Volk,&#8221; and we&#8217;re getting into some serious </span><i><span style="font-weight: 400;">deja vu</span></i><span style="font-weight: 400;">.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">This is true as well for much of the “libertarian” right. Witness, for example, </span><a href="https://x.com/LPNH/status/1803397497353601164"><span style="font-weight: 400;">this tweet</span></a><span style="font-weight: 400;"> from the Libertarian Party of New Hampshire’s Twitter account: “</span><span style="font-weight: 400;">Anyone who celebrates Juneteenth should be deported from America.”</span><span style="font-weight: 400;"> This is far from atypical for them. They subsequently </span><a href="https://x.com/LPNH/status/1803850280456327530"><span style="font-weight: 400;">tweeted</span></a><span style="font-weight: 400;">: “</span><span style="font-weight: 400;">Degenerates must be expelled in order to maintain a libertarian social order.”</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">You might think “libertarian” is an odd self-designation for people who object to a holiday celebrating the end of slavery, and who call for physically removing “degenerates” from society. The Mises Caucus, which controls both the national and New Hampshire Libertarian Party organisations, has about as much to do with actual liberty as the crossed-hammer stormtroopers in “</span><a href="https://www.youtube.com/watch?v=xW9GVrr7PrA"><span style="font-weight: 400;">Waiting for the Worms</span></a><span style="font-weight: 400;">” (a song which LPNH probably has on repeat — probably only a matter of time until they adopt “final solution to strengthen the strain” as an official motto). But it’s nothing new.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">There has long been an authoritarian strain on the “libertarian” right. This was true at least as long ago as 1969, when Walter Block enthusiastically defended “</span><a href="https://www.stephankinsella.com/wp-content/uploads/publications/others/block-voluntary-slavery-1969.pdf"><span style="font-weight: 400;">voluntary slavery</span></a><span style="font-weight: 400;">” — along with the implied right of the slave owner to </span><a href="https://mest.meste.org/MEST_Najava/XXI_Block.pdf"><span style="font-weight: 400;">beat, torture, and mutilate</span></a><span style="font-weight: 400;"> the person who “voluntarily” sold themselves into slavery — as a logical implication of self-ownership and freedom of contract.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">And this has become even more true in recent years, starting with the rise of the so-called “paleolibertarian” movement of Ron Paul and Lew Rockwell in the 90s. The intellectual gray eminence — or Joseph Goebbels, if you prefer — of this movement is Hans Hermann Hoppe, and its primary institutional home is the Ludwig von Mises Institute. Unsurprisingly, the Hoppean/paleo community includes under its umbrella the ruling Mises Caucus of the Libertarian Party, and Walter Block (who continues to </span><a href="https://c4ss.org/content/59744"><span style="font-weight: 400;">advocate “voluntary slavery”</span></a> <a href="https://c4ss.org/content/59776"><span style="font-weight: 400;">to this day</span></a><span style="font-weight: 400;">). </span></p> <p><span style="font-weight: 400;">The essence of the Hoppean project is to create an authoritarian society — their ideal society is one in which every square foot of land is privately appropriated by predominantly white, Christian owners, no one can exist anywhere without permission from the land-owners, and “degenerates” and socialists are “physically removed” or “helicoptered” in order to purge the society of those who are incompatible with its “libertarian” character — but to do so entirely in ways that are fully consistent with self-ownership and the non-aggression principle.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">It’s odd that people whose substantive values are thoroughly authoritarian, and who have no have no sympathy whatsoever with human agency or human flourishing, even care about consistency with formal “libertarian” principles… but here we are.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">And here’s where we also are: If you want to know anything about actual human freedom and liberty, don’t listen to right-wingers.</span></p> ]]></content:encoded> </item> <item> <title>El Mito del Sector Privado, Parte I: Por qué Grande-Pequeño y Vertical-Horizontal triunfa sobre “Público-Privado”</title> <link>https://c4ss.org/content/59976</link> <dc:creator><![CDATA[Kevin Carson]]></dc:creator> <pubDate>Mon, 18 Nov 2024 08:38:09 +0000</pubDate> <category><![CDATA[Spanish]]></category> <category><![CDATA[Stateless Embassies]]></category> <category><![CDATA[centralization]]></category> <category><![CDATA[corporate hierarchy]]></category> <category><![CDATA[distributed knowledge]]></category> <category><![CDATA[F.A. Hayek]]></category> <category><![CDATA[Friedrich Hayek]]></category> <category><![CDATA[hierarchy]]></category> <category><![CDATA[horizontalism]]></category> <category><![CDATA[knowledge problem]]></category> <category><![CDATA[libertarianism]]></category> <category><![CDATA[local knowledge]]></category> <category><![CDATA[public private]]></category> <guid isPermaLink="false">https://c4ss.org/?p=59976</guid> <description><![CDATA[Por Kevin Carson. Artículo original: The Myth of the Private Sector, Part I: Why Big-Small and Vertical-Horizontal Trumps “Public-Private”, 5 de noviembre 2020. Traducido al español por Camilo Salvadó. Hoy (28 de octubre) Rachel McKinney, una amiga que trabaja como profesora de filosofía, se quejó en Twitter de que estaba tratando de crear un examen...]]></description> <content:encoded><![CDATA[<p style="text-align: left; padding: 1em; background: #e6e6e6;">Por <b>Kevin Carson</b>. Artículo original: <a href="https://c4ss.org/content/53835">The Myth of the Private Sector, Part I: Why Big-Small and Vertical-Horizontal Trumps “Public-Private”</a>, 5 de noviembre 2020. Traducido al español por Camilo Salvadó.</p> <p>Hoy (28 de octubre) Rachel McKinney, una amiga que trabaja como profesora de filosofía, se quejó en Twitter de que estaba tratando de crear un examen parcial y “Blackboard (pizarra) es una basura. No hay forma intuitiva de dividir las preguntas en secciones, no puede dar instrucciones para secciones específicas, no puede modular para requerir respuestas de, por ejemplo, 10 de 15 preguntas a elección de los estudiantes”.</p> <p>Tal como sospeché, al preguntarle, explicó que la elección del programa fue involuntaria: “los tres grandes son Blackboard, Canvas y Moodle, softwares de gestión del aprendizaje’. Las instituciones eligen uno y los instructores tienen que usarlo. Blackboard es la más antigua, la más tosca y, con mucho, la peor”.</p> <p>Esto es exactamente como el programa de gráficos que usábamos en el hospital donde trabajaba. Es desarrolado por una burocracia compartimentada corporativa, para su venta a otra burocracia corporativa, y de uso obligatorio por una clientela cautiva de empleados – todo ello con cero retroalimentación de los usuarios en algún punto del proceso.</p> <p>La experiencia de Rachel, y la mía, son ejemplos típicos de la incompetencia de los departamentos institucionales de TI, eligiendo programas de “productividad” para clientelas cautivas sin retroalimentación alguna.</p> <p>Como Tom Coates observó hace años, la proliferación de utilidades individuales de escritorio y basadas en navegador -muchas de ellas gratuitas y Open Source (Código Abierto)- significa que la brecha de calidad entre lo que se puede lograr en el hogar y lo que se puede lograr en el trabajo se ha reducido o eliminado. Yo iría más allá, y diría que las personas suelen ser mucho más productivas fuera del trabajo, cuando pueden usar las utilidades de su propia elección, que cuando tienen que usar la basura que les obligan a tragar en el trabajo.</p> <p>Veamos otra anécdota de mi experiencia. Cuando me mudé a mi hogar actual hace cinco años, la parcela de tierra semirrural en la que vivo se separó de una parcela mayor. Los meses siguientes, los GPS usados por los conductores de FedEx y UPS no reflejaron el cambio, por lo que constantemente recibía notificaciones por correo electrónico de que un paquete no se entregó porque “la dirección no existe”.</p> <p>Llamé repetidamente a las empresas, explicando la situación, dando instrucciones detalladas sobre cómo encontrar mi casa. Sin embargo, las fallas en la entrega continuaron porque -debido a una perversidad de la cultura institucional-, los conductores prefirieron confiar en su GPS antes que en sus propios ojos mentirosos. Finalmente, después de muchos meses, logré hablar con alguien en un nodo logístico regional que puso mis direcciones en la computadora para señalar automáticamente al conductor; desde entonces he recibido un servicio bastante confiable.</p> <p>Del Servicio Postal, por otro lado, he recibido entregas de paquetes en su mayoría confiables desde que me mudé aquí. La razón es que el cartero es alguien que vive en este pueblo y conoce la ruta porque la ha conducido durante años.</p> <p>La Oficina de Correos del “sector público” es mejor que la UPS del “sector privado” al hacer uso de lo que Friedrich Hayek llamó el “conocimiento distribuido” o “situacional” de sus trabajadores.</p> <p>Todos estos ejemplos sugieren que la distinción, enfatizada en la ideología libertaria de derecha -es decir, lo que los estadounidenses generalmente piensan cuando escuchan la palabra “libertario”- entre “público” y “privado” es considerablemente menos importante que diferencias en el estilo organizacional, cuando se trata de cosas como la eficiencia operativa de una institución o el grado relativo de libertad que sienten quienes interactúan con ella. En una tipología de instituciones genuinamente libertaria, la dicotomía público-privado en la mayoría de los casos es menos útil que la dicotomía entre grande y pequeño, vertical y horizontal, y autogestionario versus jerárquico.</p> <p>En la tipología de instituciones de Paul Goodman en People or Personnel, las grandes instituciones autoritarias, como agencias gubernamentales y corporaciones capitalistas, se parecen más entre sí, ya sean nominalmente “públicas” o “privadas”, que las pequeñas organizaciones autogestionadas.</p> <blockquote><p>En una empresa centralizada, la función a realizarse es la meta de la organización más que de las personas…. La autoridad va arriba- abajo. La información se recopila desde abajo en el campo y se procesa para que pueda ser utilizada por los de arriba; las decisiones se toman en la sede central; las políticas, cronogramas y procedimientos estándar se transmiten hacia abajo por la cadena de mando. La empresa en su conjunto se divide en departamentos de operación a los que se asigna personal con funciones distintas, para dar un rendimiento estándar…. El sistema fue ideado para disciplinar a los ejércitos; llevar registros, recaudar impuestos y realizar funciones burocráticas; y para ciertos tipos de producción en masa. Ahora es generalizado.</p> <p>El principio del descentralismo es que las personas se dedican a una función y la organización es la forma en que cooperan. La autoridad se delega lejos de “arriba”, tanto como sea posible y hay muchos centros de decisión y formulación de políticas. La información se transmite y discute cara a cara entre el campo y la sede central. Las personas se vuelven cada vez más conscientes de la operación completa, y trabajan a su manera, según sus capacidades. Los grupos organizan sus propios horarios.</p> <p style="text-align: center;">* * *</p> <p>Lo que aumenta los costos en las empresas que usan los sistemas centralizados interconectados de la sociedad, ya sean comerciales, oficiales o institucionales sin fines de lucro, son todos los factores de organización, procedimiento y motivación que no están directamente determinados por la función y el deseo de realizarlo. Patentes y rentas, precios fijos, escalas sindicales, subsidios, beneficios marginales, salarios de estatus, cuentas de gastos, proliferación administrativa, papeleo, gastos fijos permanentes, relaciones públicas y promoción, pérdida de tiempo y habilidades al dividir tareas entre departamentos, pensamiento burocrático de tacañeria y despilfarro, procedimientos inflexibles y una programación apretada que exagera las contingencias y las horas extra….</p> <p>Pero cuando las empresas son llevadas autonomamente por profesionales, artistas y trabajadores intrínsecamente comprometidos con el trabajo, hay economías en toda línea. La gente se las arregla con los medios. Gastan en valor, no en convenciones. Improvisan procedimientos de manera flexible a medida que se presentan oportunidades y emergencias. No miran el reloj. Se ponen en práctica las habilidades disponibles de cada persona. Se evade el estatus y si es neecsario, se aceptan salarios de subsistencia. La administración y los gastos generales son ad hoc. La tarea se verá más en su esencia y no en abstracto.</p></blockquote> <p>De hecho, la distinción entre gobierno y empresa privada, tan extendida en las polémicas libertarias de derecha, carece en gran medida de sentido.</p> <p>En primer lugar, la gran corporación es parte de una red entrelazada de instituciones que incluye al Estado. Lo han señalado sociólogos de la élite del poder, como C. Wright Mills y G. William Domhoff, la sociedad estadounidense está gobernada principalmente por una constelación de agencias federales centralizadas en el Poder Ejecutivo, unos cientos de grandes corporaciones y bancos, junto a un número comparable de tanques de pensamiento y fundaciones. Todas estas instituciones están dirigidas por la misma cantera de personal que circula entre ellas; para verificar esto, solo necesita mirar las direcciones entrelazadas de corporaciones y bancos, junto con la cantidad de secretarios y subsecretarios en cualquier departamento del Gabinete federal y las corporaciones en las que anteriormente se desempeñaron como directores o vicepresidentes (y viceversa).</p> <p>Segundo, el Estado funciona principalmente como Estado capitalista, llevando a cabo funciones de apoyo necesarias para las grandes empresas. El modelo de ganancias de las grandes empresas – y en menor medida, pero significativamente, el del capital en su conjunto – depende directamente del Estado. La mayor parte de las ganancias corporativas provienen de subsidios estatales directos o de rentas económicas extraídas con la ayuda de monopolios impuestos por el Estado, barreras de entrada y restricciones a la competencia. Una de las funciones principales del Estado es socializar los costos y riesgos operativos de las grandes empresas y subsidiar una parte importante de sus insumos.</p> <p>En general, el tamaño y la estructura interna de una institución nos dicen mucho más sobre su naturaleza real -no solo su nivel de eficiencia, sino también su relativo libertarismo o autoritarismo, y su papel en el sistema general de poder- que si son nominalmente “públicas” o “privadas”. Una empresa pública cuyas operaciones se rigen sobre una base cooperativa de partes interesadas, es más libertaria, desde el punto de vista de aquellos que utilizan sus servicios -independientemente de su propiedad “pública” o “privada” nominal- que una empresa de servicios públicos de propiedad corporativa o estatal con un jerarquía tradicional gerencial/burocrática. Asimismo, un proyecto de covivienda autogestionado por sus residentes es más libertario desde el punto de vista de quienes viven en él, que un proyecto tradicional de vivienda pública estatal o un complejo de apartamentos en propiedad privada de una terrateniente.</p> <p>Y las alternativas de autogestión, ya sean nominalmente “públicas” o “privadas”, son, en términos prácticos, mucho más fáciles de empujar en una dirección libertaria o anarquista, que las burocracias estatales o las corporaciones capitalistas.</p> <p>Debemos ir más allá del marco estándar de los debates centrados en la “privatización” capitalista del modelo libertario de derecha versus la “nacionalización” defendida por la vieja izquierda, y en su lugar, centrarnos en descentralizar todas las instituciones al nivel local y democratizar su gobernanza interna. ¡Sin jefes, sin terratenientes, sin burócratas!</p> <p style="text-align: center; padding: .6em 1em; border: 1px solid black; border-radius: 5px; margin: .5em 0 2em;">Si te ha gustado este articulo y quieres apoyar a esta comunidad, puedes donar a través de este link:<i> </i><a href="https://c4ss.org/apoyo">https://c4ss.org/apoyo</a></p> ]]></content:encoded> </item> <item> <title>Yes, Politics is a Zero-Sum Game</title> <link>https://c4ss.org/content/59962</link> <dc:creator><![CDATA[Kevin Carson]]></dc:creator> <pubDate>Thu, 14 Nov 2024 12:00:18 +0000</pubDate> <category><![CDATA[Commentary]]></category> <category><![CDATA[conspiracy]]></category> <category><![CDATA[Howard Zinn]]></category> <category><![CDATA[noam chomsky]]></category> <category><![CDATA[politics]]></category> <category><![CDATA[propaganda]]></category> <category><![CDATA[Shai Davidai]]></category> <guid isPermaLink="false">https://c4ss.org/?p=59962</guid> <description><![CDATA[I find fodder for op-eds in some of the strangest places. I came across this video (“Politics is NOT a zero-sum game,” by Shai Davidai) in a HIT posted on Amazon Mechanical Turk by Davidai — an academic study in which he gauged viewers’ reactions to it. (For those who don’t know, Mechanical Turk is...]]></description> <content:encoded><![CDATA[<p><span style="font-weight: 400;">I find fodder for op-eds in some of the strangest places. I came across this video (“</span><a href="https://www.youtube.com/watch?v=EE5RfEi8QPo"><span style="font-weight: 400;">Politics is NOT a zero-sum game</span></a><span style="font-weight: 400;">,” by Shai Davidai) in a HIT posted on Amazon Mechanical Turk by Davidai — an academic study in which he gauged viewers’ reactions to it. (For those who don’t know, Mechanical Turk is a microtasking platform where people can perform tasks — HITs — like participate in surveys posted by academic researchers.)</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">Until the video inspired me to write this column, I was familiar with </span><a href="https://twitter.com/ShaiDavidai"><span style="font-weight: 400;">Shai Davidai</span></a><span style="font-weight: 400;"> mainly as a Mechanical Turk requester. Turns out he’s also a social psychologist and </span><a href="https://business.columbia.edu/faculty/people/shai-davidai"><span style="font-weight: 400;">Assistant Professor in the Management Division of Columbia Business School</span></a><span style="font-weight: 400;">. Although he’s currently famous primarily for other, more </span><a href="https://nymag.com/intelligencer/article/shai-davidai-columbia-protests.html"><span style="font-weight: 400;">unfortunate reasons</span></a><span style="font-weight: 400;">, my concern today is solely with addressing the arguments in the video, and his related work. Davidai’s academic specialization, “</span><span style="font-weight: 400;">the psychology of judgment and decision making, economic inequality and social mobility, social comparisons, and zero-sum thinking,” is useful background for understanding where he’s coming from with the arguments he makes in the video.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">At the outset, he states that “politics is a game where we all win, or lose, together.” In a further claim suggestive of a likely orientation toward </span><a href="https://drive.google.com/file/d/1B3hnUb1POZyHqFZTBnsX3W3JsvblxMHf/view?usp=sharing"><span style="font-weight: 400;">interest group pluralism</span></a><span style="font-weight: 400;">, he continues: “There is no fixed, predetermined number of people who can, or can’t, influence the direction of this country.” As evidence that consensus predominates over conflict in American politics, he cites the fact that “most laws get support from both sides of the political aisle.” Many politicians, as well, “share many interests and priorities.” It follows that “[w]hen one party passes a bill, it does not have to come at another party’s expense.” Similarly, we and our fellow citizens of all political persuasions care, deep down, about the same thing — “the United States of America.” “Just like cars on the freeway, we are all moving in the same direction. Despite our differences, we are all working toward the same goals.” At the end, he restates the claim of the title: “politics is simply not a zero-sum game.”</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">Given Davidai’s negative framing of zero-sum views of the world, it probably shouldn’t come as a surprise that he’s produced a considerable body of work on zero-sum perceptions, and the psychological and ideological factors that contribute to them. Although — aside from the video — he doesn’t come right out and dismiss zero-sum views as such as illegitimate, he consistently treats them as something to be psychologized away rather than a serious hypothesis about the structure of society. In a classic display of centrist horseshoe theory, he uses parallel quotes from Bernie Sanders (about billionaires) and Donald Trump (about Mexican immigrants) as the epigraph to “</span><a href="https://sci-hub.ru/10.1126/sciadv.aay3761"><span style="font-weight: 400;">The politics of zero-sum thinking</span></a><span style="font-weight: 400;">,” coauthored with Martino Ongis. The gist of his comparison between liberal and conservative versions of zero-sum thinking is that the former are more apt to view the social and economic status quo as zero-sum, while the latter see attempts to change the status quo as coming at the direct expense of people like themselves.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">The closest he comes to assessing the factual validity of zero-sum views is this statement: “Although pure zero-sum situations are rare, many people perceive non–zero-sum situations as zero-sum, believing that one person’s gains are balanced by another person’s losses.” Further, he argues, zero-sum thinking has “adverse consequences” — e.g. it “increases people’s feeling that they are being taken advantage of and that the social system is illegitimate and unjust.” Apparently the question of whether the social system is, in fact, illegitimate and unjust is unworthy of serious consideration.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">The arguments in Davidai’s video don’t stand up well to factual examination. First of all, there&#8217;s no correlation between the facts that a majority of bills are passed with bipartisan support, and a majority of Americans agree on most issues. Treating them as related phenomena assumes that the American system is actually democratic, and that public sentiment is the primary influence on legislation. </span></p> <p><span style="font-weight: 400;">Policies that have bipartisan support in Congress, and never appear as matters for political debate, involve things that are structurally central to the functioning of the American model of capitalism. They are things that both wings of the capitalist class, represented by the two parties, agree on. Both major parties overwhelmingly agree on fundamental things like the nature of capitalist land ownership and credit, copyright maximalism, the idea that the state should massively subsidize the major input costs of corporate capitalism, and the role of the United States as global enforcer of a neoliberal economic order.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">On the other hand, large popular majorities are in favor of things like single-payer health insurance, that are non-starters in Congress. In any case where the majority consensus of the general public contradicts the consensus of American capital, </span><a href="https://c4ss.org/content/28727"><span style="font-weight: 400;">the latter prevails</span></a><span style="font-weight: 400;">. </span></p> <p><span style="font-weight: 400;">All the things that show up as actual issues in mainstream political debate are second-order problems that take the basic class and institutional structure of society for granted. “Moderate” proposals are those which can be administered through the existing institutional framework, by the sorts of people who are currently running things. “Extremist” proposals, on the other hand, call for fundamental changes in systemic structure. As Noam Chomsky once put it:</span></p> <blockquote><p><span style="font-weight: 400;">The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion, but allow very lively debate within that spectrum — even encourage the more critical and dissident views. That gives people the sense that there&#8217;s free thinking going on, while all the time the presuppositions of the system are being reinforced by the limits put on the range of the debate.</span></p></blockquote> <p><span style="font-weight: 400;">Let me preemptively add, at the risk of poisoning the well, that this is not a “</span><a href="https://c4ss.org/content/59221"><span style="font-weight: 400;">conspiracy theory</span></a><span style="font-weight: 400;">.” As Edward Herman and Chomsky pointed out in </span><a href="https://libgen.is/book/index.php?md5=F3C47E8E2EA6389B08001D4A0DC3295A"><i><span style="font-weight: 400;">Manufacturing Consent</span></i></a><span style="font-weight: 400;">, no central coordination is required — it’s mostly a set of automatic filtering mechanisms that operate by an invisible hand process. </span></p> <p><span style="font-weight: 400;">And despite the egalitarian language — “your friends, colleagues, and neighbors” — we aren’t all “just folks,” irrespective of class, who are motivated primarily by love of country. To quote </span><a href="https://www.howardzinn.org/collection/americas-blinders/"><span style="font-weight: 400;">Howard Zinn</span></a><span style="font-weight: 400;">:</span></p> <blockquote><p><span style="font-weight: 400;">We have been led to believe that, from the beginning, as our Founding Fathers put it in the Preamble to the Constitution, it was “we the people” who established the new government after the Revolution….</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">Our culture demands, in its very language, that we accept a commonality of interest binding all of us to one another. We mustn’t talk about classes….</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">[Our present leaders] bombard us with phrases like “national interest,” “national security,” and “national defense” as if all of these concepts applied equally to all of us, colored or white, rich or poor, as if General Motors and Halliburton have the same interests as the rest of us, as if George Bush has the same interest as the young man or woman he sends to war.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">Surely, in the history of lies told to the population, this is the biggest lie. In the history of secrets, withheld from the American people, this is the biggest secret: that there are classes with different interests in this country. To ignore that — not to know that the history of our country is a history of slaveowner against slave, landlord against tenant, corporation against worker, rich against poor — is to render us helpless before all the lesser lies told to us by people in power.</span></p></blockquote> <p><span style="font-weight: 400;">As for the claim in the article cited above, that genuine zero-sum situations are rare, this is a strawman. It’s true that no transaction — aside from outright murder and robbery — is </span><i><span style="font-weight: 400;">completely</span></i><span style="font-weight: 400;"> zero-sum, in the sense that one party experiences no benefit whatsoever from it. There must be some benefit from the transaction that at least marginally outweighs the cost for both parties, or they wouldn’t both participate. Nevertheless, a major share of economic transactions we participate in involve economic rents, in which one party — the landlord, the employer, the patent or copyright holder, the lender, the oligopoly seller — is able to set the price to the highest level consistent with the other party still being willing to come to the table. This is the classic textbook profit-maximizing price model.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">The dominant influence on American government policy is a class whose wealth consists of economic rents and monopoly returns on artificial scarcities and artificial property rights, who get rich by extracting a surplus from workers and consumers. Our relationship with them is zero-sum. Another item for the list of things I never thought I’d have to explain to a college professor.</span></p> ]]></content:encoded> </item> <item> <title>C’è Difesa dal Dispotismo?</title> <link>https://c4ss.org/content/59970</link> <dc:creator><![CDATA[C4SS]]></dc:creator> <pubDate>Wed, 13 Nov 2024 10:34:21 +0000</pubDate> <category><![CDATA[Italian]]></category> <category><![CDATA[Stateless Embassies]]></category> <category><![CDATA[assata]]></category> <category><![CDATA[guns]]></category> <category><![CDATA[NRA]]></category> <guid isPermaLink="false">https://c4ss.org/?p=59970</guid> <description><![CDATA[Di James Smith. Originale pubblicato il 24 luglio 2017 con il titolo May We Defend Against Tyranny? Traduzione di Enrico Sanna. I conservatori sostengono il diritto di portare armi per difendersi da uno stato dispotico. Concordo. La conservatrice Dana Loesch, portavoce della Nra (l’associazione dei portatori d’arma americani, ndt), a quanto pare non è d’accordo....]]></description> <content:encoded><![CDATA[<p style="text-align: left; padding: 1em; background: #e6e6e6;">Di <b>James Smith</b>. Originale pubblicato il 24 luglio 2017 con il titolo <a href="https://c4ss.org/content/49663">May We Defend Against Tyranny?</a> Traduzione di <a href="https://tinyurl.com/3scy96ry">Enrico Sanna</a>.</p> <p>I conservatori sostengono il diritto di portare armi per difendersi da uno stato dispotico. Concordo.</p> <p>La conservatrice Dana Loesch, portavoce della Nra (l’associazione dei portatori d’arma americani, <i>ndt</i>), a quanto pare non è d’accordo. Su Twitter condanna così la marcia delle donne che celebrava il compleanno di Assata Shakur: “Festeggiate chi ha ucciso un poliziotto.”</p> <p>Non sostengo che Assata Shakur sia un’eroina. Lei è una marxista leninista e io sono un libertario che crede nel libero mercato. Militante del Black Liberation Army, Assata ha usato tattiche guerrigliere che prevedono l’aggressione contro innocenti.</p> <p>Ma la Loesch non si riferisce a questi errori. Per lei, chi “uccide un poliziotto” appartiene ad una categoria screditata.</p> <p>Ci sono due grossi problemi. Il primo è che una condanna non significa automaticamente colpevolezza. Sono anni che Assata sostiene di essere innocente. Non ci sono prove fisiche che dimostrino che lei abbia sparato i colpi che hanno ucciso l’agente del New Jersey Wayne Foerster. E visti i precedenti del Cointelpro, con l’Fbi che per anni ha cercato di annientare gli attivisti neri, tra cui il pacifista Martin Luther King Jr., non è da escludere una montatura.</p> <p>Cosa ancora ancora più importante, dire che “chi uccide un poliziotto” è “un assassino e basta” significa escludere a priori la possibilità di autodifesa davanti alla polizia. Ma quando sia conservatori che libertari dicono che le armi servono a difendersi dal tiranno, non dicono forse che è lecito difendersi da chi impone con la violenza il volere dello stato, ovvero dai poliziotti? E per Dana Loesch difendersi dalla tirannia cos’è?</p> <p>Qualcuno dirà: “Ma James, questa è l’America, e i nostri poliziotti non sono aguzzini.” Non sono d’accordo. Lo stato americano ha sempre agito tirannicamente, e i neri più di ogni altro hanno subito una violenza terribile.</p> <p>Prima furono ridotti in schiavitù, privati di molti diritti individuali anche da liberti. Dopo il tredicesimo emendamento e l’abolizione formale della schiavitù arrivarono leggi che criminalizzavano molti diritti elementari, compreso il diritto di portare armi, ai danni dei neri. Vari stati adottarono una forma di apartheid chiamata Jim Crow. Con l’eugenetica, molti furono sterilizzati a forza, anche per preservare una certa visione totalitaria della purezza razziale. E poi c’erano i gruppi che linciavano i neri per imporre l’ordine della supremazia bianca.</p> <p>Il governo degli Stati Uniti rimase una tirannia repressiva anche dopo l’approvazione delle leggi sui diritti civili. L’Fbi si serviva di un programma chiamato Cointelpro per sorvegliare, perseguitare e reprimere molti attivisti, compresi i membri del movimento dei diritti civili e quello per la liberazione dei neri. L’Fbi sorvegliava Martin Luther King, gli mandava lettere minatorie per spingerlo al suicidio. Nel 1969, la polizia di Chicago irruppe in un appartamento e sparò diversi colpi alla testa del leader delle Pantere Nere Fred Hampton. Dato il clima, non è affatto insolito dire che usare le armi contro la polizia può essere una forma di autodifesa contro la tirannia.</p> <p>La tirannia esiste ancora. A New York, la polizia ha soffocato a morte Eric Garner. E non in risposta ad un crimine, ma perché, come un qualunque imprenditore, vendeva pacificamente sigarette senza autorizzazione. Lo hanno ucciso perché osava guadagnarsi da vivere senza i bolli di stato.</p> <p>Nel Minnesota, la polizia ha ucciso Philando Castile davanti alla sua famiglia, semplicemente perché aveva ammesso di possedere un’arma. Avrebbero dovuto difendere il diritto di portare un’arma sancito dal secondo emendamento, e invece l’Nra e Dana Loesch hanno diffuso un documento in cui, senza mai citare questo diritto, condannano l’operato degli attivisti di Black Lives Matter che protestavano contro il comportamento tirannico e omicida dello stato.</p> <p>A questo punto, occorre un movimento che prenda sul serio il diritto di opporsi alla tirannia. Dana Loesch e l’Nra hanno dimostrato di non volerne far parte.</p> <p style="text-align: center; padding: .6em 1em; border: 1px solid black; border-radius: 5px; margin: .5em 0 2em;">Le nostre traduzioni sono finanziate interamente da donazioni. Se vi piace quello che scriviamo, siete invitati a contribuire. Trovate le istruzioni su come fare nella pagina <i>Sostieni C4SS</i>: <a href="https://c4ss.org/sostieni-c4ss">https://c4ss.org/sostieni-c4ss</a>.</p> ]]></content:encoded> </item> </channel> </rss>

Pages: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10